ULASAN PERTEMUAN-6: LURUH EGO #4


 

Pertemuan ke-6 diawali dengan 30 pertanyaan filsafat dari Prof. Marsigit MA. Setelah 30 pertanyaan selesai dibacakan Prof. Marsigit ber-apriori, apriori (dugaan) beliau berupa peserta belum atau bahkan tidak mampu menjawab dengan benar atas pertanyaan yang beliau tanyakan. Beberapa pertanyaan diantaranya tentang: 1) tata krama langit : trasendental, 2) kesalahan langit: antinomi, 3) bentuk bahasa : analitik, 4) konsisten : analogi, 5) sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dipikirkan : noumena, 6)  pikiran kita memiliki struktur yang sama dan sama dengan struktur kimia : arsitektonik, 7) empat pikiran bawaan yang tumbuh sejak lahir : kualitas, kuantitas, hubungan, dan modality, dll. Diakhir koreksi atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan Prof. Marsigit, ternyata benar apa yang menjadi apriori beliau bahwa peserta belum mampu menjawab setiap pertanyaan tersebut dengan benar. Sumber pertanyaan beliau berasal dari buku “Critique of Pure Reason” yang sebenarnya sudah dibaca dan dipelajari oleh peserta dan menandakan ternyata peserta memang belum paham akan materi tersebut.

Dari diskusi awal tersebut secara pribadi memaksa penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki dan harus me-Luruh-kan Ego. Luruh Ego#4 menyadarkan pribadi bahwa penulis hanya merasa paham yang sebenarnya penulis belum paham. Sehingga refleksi yang penulis lakukan dari pertemuan ini adalah perlunya penulis merasa ikhlas terhadap ke-tidak atau ke-belum pahaman pribadi penulis terhadap yang penulis pelajari. Padahal semua telah difasilitasi oleh Dosen Pengampu dalam kuliah formal.

Salah satu hal yang disampaikan Prof. Marsigit MA dalam sumber belajar “Critique of Pure Reason” tentang Noumena : sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dipikirkan. Beliau menyampaikan bahwa Noumena merupakan batas dari pemahaman dan pengetahuan kita. Hal ini memahamkan pribadi bahwa saat ini filsafat yang penulis pelajari adalah filsafat ilmu pengetahuan. Penulis berusaha memperoleh pemahaman tentang ilmu pengetahuan secara jelas, benar dan lengkap, serta mendasar untuk dapat menemukan kerangka pokok serta unsur-unsur hakiki menjadi ciri khas dari ilmu pengetahuan yang sebenarnya.

Dari pertemuan ke-enam ini penulis berharap mampu menentukan identitas ilmu pengetahuan dengan benar, dapat menentukan mana yang termasuk ilmu pengetahuan, dan mana yang tidak termasuk dalam lingkup ilmu pengetahuan. Penulis menyadari bahwa terkadang rasa tidak puas terhadap kebiasaan-kebiasaan serta pendapat-pendapat yang dikemukakan begitu saja, terlebih tanpa adanya landasan pemikiran rasional dan obyektif yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada pertemuan ke-enam ini penulis pelahan mulai menyadari bahwa masih ada pandangan-pandangan tradisional (menulis kembali apa yang pernah ditulis) tanpa adanya penjelasan rasional dalam pribadi penulis. Terkadang pertanyaan-pertanyaannya yang rasional dan obyektif pada saat memulai kelas, memaksa penulis untuk membongkar kebiasaan-kebiasaan yang tidak memiliki orientasi yang jelas. Tetapi penulis menyadari bahwa Berpikir Logis dalam filsafat tidaklah mudah bagi pribadi ini. Sekali lagi harus ikhlas (luruh ego).

Dari pertemuan ke-enam ini penulis berharap mampu menentukan identitas ilmu pengetahuan dengan benar, dapat menentukan mana yang termasuk ilmu pengetahuan, dan mana yang tidak termasuk dalam lingkup ilmu pengetahuan. Saya menyadari bahwa terkadang rasa tidak puas terhadap kebiasaan-kebiasaan serta pendapat-pendapat yang dikemukakan begitu saja, terlebih tanpa adanya landasan pemikiran rasional dan obyektif yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Pengalaman Membaca Buku Kant's Critique of Pure Reason


 

Immanuel Kant lahir pada 22 April 1724 di Königsberg, Prusia (sekarang Kaliningrad, Rusia), wafat pada 12 Februari 1804 di Königsberg (Kaliningrad). Kant salah satu filsuf yang paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Terutama dalam sejarah filsafat modern. Namun, gagasan filosofi yang ditulisnya sangat sulit dipahami, terutama bagi penulis Pengganti Penaku (hehehe).

Dari berbagai sumber yang penulis baca, setidaknya ada tiga gagasan utama yang ditawarkan Kant, yaitu gagasan filosofisnya tentang proses pengetahuan, filsafat moral Kant, dan moralitas Kant dalam kaitannya dengan keberadaan Tuhan. Sedangkan buku Critique of Pure Reason lebih banyak membahas ide-ide filosofis Kant tentang pengetahuan. Melalui karya ini, Kant terbangun dari "tidur dogmatisnya" dan mulai membangun aliran filsafat yang dikenal sebagai Kritik Kantian. Kritik adalah filsafat yang dimulai dengan menyelidiki kapasitas dan batas akal. Bagi Kant, kritik adalah jawaban dari dogmatisme. Dogmatisme memandang pengetahuan objektif sebagai sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Sebagai aliran filsafat, dogmatisme sepenuhnya percaya pada kapasitas akal dan mendasarkan pendapatnya pada aturan apriori tanpa menanyakan apakah akal memahami esensinya sendiri, yaitu sejauh mana dan batas kemampuannya.

Kant dalam Critique of Pure Reason-nya terutama berkaitan dengan konsep analisis transendental. Bagian karya ini membahas konsep analisis transendental yang merupakan bagian terpenting dari Critique of Pure Reason itu sendiri. Namun, dalam hal ini penulis masih merasa kesulitan dalam memahami isi keseluruhan dari Critique of Pure Reason. Penulis mengamati beberapa gaya penulisan Kant juga terkesan sangat kaku dan sulit untuk dimengerti. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kant sangat berhati-hati dalam menyampaikan gagasannya secara eksak. Beberapa kata yang penulis baca dalam buku Critique of Pure Reason bersifat sangat teknis dan spesifik. Sebagai contoh, kata ‘forma’, ‘intuisi’ dan ‘sintetik’, dimana tentunya setiap kata – kata ini mempunyai makna khusus dan sekali lagi penulis harus membuka kamus google untuk menambah pemahaman penulis. Meskipun penulis merasa bahwa gaya bahasa Kant dalam Critique of Pure Reason sulit untuk dipahami, tetapi ketika dikaji dan dibaca berulang-ulang gagasan – gagasan Kant yang ada di dalamnya justru sangat jelas.

Pada bab pertama buku Critique of Pure Reason, terdapat urain tentang estetika. Orang awam sering menggunakan istilah ini sebagai ungkapan apresiasi terhadap keindahan dan seni. Dalam Critique of Pure Reason, istilah estetika mengacu pada gagasan studi tentang persepsi yang dirasakan secara langsung melalui indera. Kant membagi estetika menjadi dua bagian, yaitu aspek intuitif dan aspek konseptual. Untuk memudahkan memahami tulisan maka penulis akan menggunakan kata “intuisi”. Dimana kata intuisi ini penulis terjemahkan dari kata “Intuition” dalam bahasa inggris. Kant juga memberikan pengertiannya yang khas dalam memahami kata ‘intuitif’. Dimana intuisi sendiri merupakan pengetahuan naluriah. Kant mengartikan intuisi sebagai proses penerimaan ‘data mentah’ pengetahuan dari pengalaman tanpa melalui konseptualisasi.

Kant menganalisis pengetahuan berdasarkan pemahaman umum. Kant tidak pernah meragukan pengamatan umum yang dilakukan oleh banyak orang. Kant berpendapat bahwa kita tidak dapat terus meragukan pengetahuan kita. Dalam bukunya Critique of Pure Reason, Kant ingin mengeksplorasi kondisi yang menentukan pengetahuan kita. Kant melihat masalah ini secara analitis, sehingga bisa diselesaikan dengan penalaran. Kant berpendapat bahwa pikiran kita memiliki posisi khusus. Misalnya: pemikiran manusia rasional manapun akan berpendapat bahwa terjadinya siang dan malam saling berkaitan. Ini bagi Kant tidak perlu dibuktikan secara empiris karena klaim bahwa semua peristiwa memiliki kausalitas dalam dirinya sendiri adalah benar.

Dalam Critique of Pure Reason Kant membagi pengetahuan menjadi beberapa pernyataan, yaitu: 1) pernyataan bersifat analitik, jika predikat dari subjek termuat  dalam subjek ;2) pernyataan disebut benar secara a priori, jika kebenarannya ditentukan sebelum pengalaman, atau tanpa referensi pada pengalaman; 3) pernyataan disebut benar secara a posteriori, jika pernyataan tersebut ditentukan kebenarannya melalui referensi pada pengalaman; 4) pernyataan analitik bersifat a priori dengan alasan, bahwa kebenaran logika pernyataan tersebut terlepas dari pengalaman yang kita alami; dan 5) pernyataan a posteriori dengan sendirinya pasti bersifat sintetik, karena terdapat informasi tambahan pada subjek yang didapatkan melalui pengalaman.

Dalam tulisannya, Kant berpendapat bahwa studi filsafat menjadi menarik dalam menghadapi masalah apriori sintetik. Namun, pandangan Kant bertentangan dengan aliran empirisme yang populer di dunia filsafat saat itu. David Hume (1711-1776), menolak segala bentuk visi yang membenarkan a apriori sintetik. Namun, bagi Kant penolakan Hume ironisnya merupakan bentuk a apriori sintetik (pernyataan seperti ini kemudian digunakan beberapa abad kemudian untuk mempertanyakan validitas prinsip verifikasi positivisme logis). Kant berpendapat bahwa a apriori sintetik adalah sesuatu yang esensial, karena itu adalah bagian dari semua pikiran kita. A apriori sintettik adalah kondisi yang diperlukan agar pengetahuan menjadi mungkin. Di sinilah terletak kekhasan pemikiran seorang Immanuel Kant, dimana Kant menempatkan pikiran dalam kerangka aktif proses mengetahui dan a priori sintentik merupakan  cara pikiran untuk aktif dalam proses mengetahui.

Tulisan ini hanya sebatas coretan kecil dari isi buku Critique of Pure Reason yang penuh dengan kemajemukan, yang bahkan banyak hal yang terlewat dari apa yang penulis baca. Penulis menyadari, semakin penulis membaca semakin banyak hal yang perlu disampaikan hingga penulis merasa bahwa penulis tidak dapat menuliskan apapun tanpa mengetahui asalnya.

Educational Modernism: Filsafat PEP Kuliah Perdana S3 PEP B Via Zoom

 Filsafat hakikatnya merupakan olah pikir manusia itu sendiri (Clark & Karmiloff-Smith: 1993).  Filsafat terbangun atas pikiran kita masing-masing, bukan atas kemauan orang lain yang lantas kita lakukan untuk memuaskan orang lain. Kita melakukan sesuatu atas perintah kerja pikiran kita, tidak diminta juga tidak diberi. Ketika kita mampu membangun pikiran kita maka kita sedang membangun konstruksi. Saat kita tertawa, melamun, menangis, gelisah pikiran kita tidak mati tetapi bisa saja aktivitas kita mati. Hal ini dikatakan pikiran kita tidak mati karena kita (misal) tertawa. Siapa yang mampu menggerakkan bibir kita untuk melebar sehingga bisa tertawa? Apakah diri kita? Apakah tangan kita yang menarik bibir kita? Ataukan mulut kita yang sengaja dibuka? Ataukah kita sedang memiliki aktivitas “gila”? wallahu a'lam, hanya Allah yang mengetahui. Kita tidak tahu, kenapa kita bisa melakukan aktivitas tertawa dan bahkan aktifitas lainnya bisa saja mati meski hanya dalam hitungan second. Bernafas misal.


Lihat gambar tangkapan layar ini, siapa yang sesungguhnya tertawa? Apakah yang terlihat melebar bibirnya?, ataukah yang nampak giginya?, ataukah yang menutup bibirnya dengan tangan? ataukah yang bersembunyi? Semua ini semu tetapi nyata, asli tetapi palsu (Wang: 1999). Inilah modernisasi yang kita terima dimasa pandemi, menunjukkan tawa yang seolah semu tetapi memang nyata. Meskipun demikian perkuliahan tetap berjalan sebagai wahana untuk menjalin silaturahmi dengan relasi S3 PEP B Angkatan 2021. Tapi relasi ini hanya sebagian tidak utuh. Tapi mana yang sebagian karena semua hadir? Tetapi mana yang utuh karena hanya sebagian yang terlihat. Tidak ada yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Allah semata (absolut).

Kuliah perdana Filsafat PEP 31 Agustus 2021 bersama Prof. Dr. Marsigit MA merupakan salah satu pendekatan spiritual: memperkokoh iman, mendekatkan diri kepada Allah. Doa, penyebutan nama, tawa, sinyal/jaringan semua itu menjadi relasi. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang hanya menampakkan sebagian tubuh dilayar/ruang zoo? Apakah itu juga relasi? Bahkan hanya nampak rambutnya saja, sedang sebagian nampak hidungnya? Maka ini pula menjadi himpunan. Himpunan orang-orang yang kuliah secara daring menggunakan zoom. Pikiran tidak bisa dihentikan, sekalipun yang membawanya tidur pikiran tetap berpikir. Bagaimana bisa? Saya pun tidak tahu, karena tidak setiap hal dapat ditanya, tidak setiap pertnyaan dapat dijawab. Wallahu a'lam

 

Clark, A., & Karmiloff-Smith, A. (1993). The cognizer's innards: A philosophical and psychological perspective on the development of thought.

Wang, N. (1999). Rethinking authenticity in tourism experience. Annals of tourism research26(2), 349-370.

LIMA PERTANYAAN (?)

 

1.    Mengapa manusia itu meta fisik?

2.    Mana yang lebih panjang, waktu atau kesempatan?

3.    Mana yang lebih pendek, usia atau kesempatan?

4.    Mana yang harus dijaga, hati atau keselamatan?

5. Bagaimana mengunci ketulusan?

Elegi Membuka Akun Facebook Kembali



2 Tahun berlalu, tanpa facebook hingga password pun tak ingat, hingga pesan-pesan pun tak terbaca. 2 tahun berlalu mencoba berhenti dari media ini, media yang mendekatkan namun menjauhkan. Mendekatkan kita terhadap ilmu-ilmu yang manfaat manakala kita mampu mengambilnya dengan cara yang baik. Menjauhkan dari kebaikan mana kala kita tidak membekali diri dengan kecerdasan ketika membaca, melihat, mendengar di media tersebut.

Alhamdulillah, 31 Agustus 2021 membuat diri tersadar bahwa tidak setiap keburukan yang kita pikikan itu buruk. Adakalanya ilmu haruslah dibatasi agar tidak melampau batasannya hingga membuat hati dan pikiran kita gelap.  Mencoba memahami, menghayati, dan mengakui setiap makna dari setiap coretan yang memang memiliki makna. Sekalipun itu hanya terdiri dari beberapa huruf.

Salah satu tulisan yang penulis baca saat membuka akun facebook, penulis membaca Note of The Day dari Prof. Marsigit, MA. Dalam tulisannya beliau menulis kalimat “Tiadalah Kebaikan Dapat Ditegakkan Diatas Keburukan”. Tidaklah kebaikan yang kebaikan yang kita lakukan menjadi hal baik, manakala hati ini masih memerdekakan keburukan diatas kebaikan yang kita lakukan. Tanamlah bibit kebaikan diri masa kemasa, hingga tanpa disadari setiap masa adalah menuai kebaikan dari kebaikan yang kita tanam. Tebar_Tuai selalu berlaku dalam hidup ini.

Educational Idealism. Filsafat Bagian 1: by Marsigit

 


Manusia itu meta fisik, hal ini karena manusia tidak sempurna. Karena jika manusia sempurna maka dia tidak hidup. Jika manusia itu hidup maka dia tidak sempurna, sejatinya manusia adalah makhluk yang sempurna dalam ketidaksempurnaan dan tidak sempurna dalam kesempurnaan. Kita tahu bahwa manusia bisa berfikir kapan dia harus makan, belajar, tidur, menangis, tertawa, dan lain-lain tetapi tidak dengan hewan. Hewan atau makhluk selain manusia belum tentu bisa melakukan hal demikian. Tetapi meskipun demikian manusia tetaplah makhluk yang tidak sempurna, ketika manusia itu terluka maka ia merasakan sakit sampai tidak mau makan. Tetapi setelah ia sembuh dari sakit, maka ia bisa makan bahkan bisa tertawa sedangkan makhluk lain belum tentu demikian. Sehingga manusia itu memiliki kesempurnaan, tetapi tidak sempurna.

Dalam hidup ini, tidak dapat dipungkiri bahwa kita ini bisa dilahirkan dan hidup didunia ini karena dipilih (takdir). Kita dipilih siapa? Apakah orang tua kita? Keluarga kita? Hanya satu Dzat, yang mampu memberi taktir kepada kita sehingga kita “dipilih”. Dipilih untuk terlahir, makan, belajar, dan seterusnya. Lalu apakah takdir ini hanya berlaku pada Sang Pemilik Takdir? Apakah ketika ada kata dan H_U_R_U_F yang kita ketik, lantas kita dikatakan memberi takdir kata dan H_U_R_U_F untuk muncul dalam tulisan ini? Ingat, kita ini sempurna didalam ketidak sempurnaan. Tulisan kata dan H_U_R_U_F yang kita pilih ini bukan karena kita yang membuat Taktir tapi karena Ikhtiar kita. Ikhtiar untuk memilih kata dan H_U_R_U_F sehingga muncul didalam tulisan ini. Takdir karena terpilihnya kata dan H_U_R_U_F muncul dalam tulisan ini. Takdir bersifat tetap (tidak dapat dirubah), terpilihnya puluhan bahkan ratusan kata dan H_U_R_U_F dalam tulisan ini sudah terjadi. Hal tersebut merupakan dari ekspresi yang muncul dari pikiran kita dimana subtansi dari dunia ini adalah alam pikiran kita (Idealism), pandangan bahwa sesuatu terlihat dan dapat dijelaskan melalui jiwa merupakan hal yang bersifat materi (Materialsm) (Holmes: 1967; Horne: 1942). Kesemua hal yang terjadi didalam diri manusia, dapat didefinisikan, diasumsikan melalui logika atau cara berfikir manusia itu sendiri (Logicism).

Untuk lebih jelasnya pembaca dapat mengakses https://www.youtube.com/watch?v=8t3lalvQbiQ

Tak Kenal Maka Tak Sayang




 Ini kali kedua penulis membuat blog, setelah sekian lama tidak pernah aktif lagi di dunia per-blogger-an. Ada harapan kelak tulisan-tulisan ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Salah satu dorongan yang menjadikan penulis menggunakan blog kembali, karena pertemuan secara daring pada akhir Agustus 2021 dengan salah satu tokoh Filsafat Indonesia, yakni Prof. Marsigit, MA. Terima kasih Prof atas ilmu-ilmunya yang diberikan kepada kami.

Umm . . .agar kelak sesiapa saja yang membaca blog ini mengetahui identitas penulis, maka pada kesempatan ini penulis akan menuliskan sedikit profil diri penulis. Ada pepatah mengatakan "Tak Kenal Maka Tak Sayang". Penulis bernama lengkap Eko Wahyunanto Prihono, merupakan anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara. Dibesarkan dilingkungan keluarga petani yang hebat karena Bapak dan Mamak yang bermata pencaharian petani mampu mengasuh, membesarkan, mendidik bahkan membiayai anak-anaknya untuk menempuh pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi. Lulus SLTA ditahun 2006 sempat menghentikan langkah untuk melanjutkan studi kejenjang sarjana, karena terbatasnya biaya yang berujung pada sebuah tekad untuk menjadi seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Negeri Jiran selama 2 (dua) tahun. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk mendapatkan penghasilan agar mampu melanjutkan studi ke jenjang sarjana (waktu itu). Tahun 2008 atas dorongan orang tua dan utamanya karena ijin Allah, akhirnya bisa menapakkan kaki dibangku kampus dengan modal yang didapat ketika menjadi TKI. Namun demikian, uang bukanlah segalanya (begitu pepatah mengatakan). Modal terwujudnya mimpi-mimpi itu tidak lain karena kesempatan yang Allah berikan, dukungan orang tua dan keluarga, tetangga, guru, sahabat, semangat, keyakinan, keteguhan, kesabaran dan banyak hal lainnya.

Akhir tahun 2012 saat akan lulus, Allah berikan kesempatan dan rejeki untuk bekerja di lembaga tempat belajar yakni di Universitas PGRI Yogyakarta hingga 2019. Pada tahun 2015 melanjutkan studi jenjang magister di Universitas Negeri Yogyakarta. Bukan suatu hal yang ringan ketika harus bekerja sambil belajar, terlebih sebagai seorang suami yang selain membiayai diri sendiri juga harus membiayai istri yang juga studi lanjut di jurusan Teknik Lingkungan. Yakin, semangat, tulus, sabar, suka, duka menjadi bagian dan moment yang ikut membangun keberhasilan disetiap langkah. Alhamdulillah, 2018 lulus magister begitu juga istri lulus di tahun 2019. Peluk kebahagian atas karunia Allah.

Sekali lagi karena kuasa Allah. Maret 2019, melanjutkan langkah untuk mengabdikan diri sebagai Abdi Negara di bumi rempah, Maluku sebagai tenaga pendidik di IAIN Ambon hingga saat ini. Berbaur, mempelajari kultur baru, mencicipi makanan yang berbeda dari biasanya merupakan kenikmatan yang amat sangat disyukuri. Alhamdulillah. Dua tahun di bumi rempah, ternyata juga belum bisa berbicara dengan bahasa daerah di Maluku. 2021 Allah ijinkan untuk melanjutkan studi kejenjang Doktoral di Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Alhamdulillah

Penulis dapat dihubungi melalui ekowahyunantoprihono@gmail.com

PENERAPAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

 Abstrak: Perjalanan belajar mengajar berlangsung terus menerus dan sepanjang hayat. Hal ini tidak hanya terbatas pada apa yang kita pelajar...