Abstrak: Tujuan menulis ini adalah untuk memberikan ide dan inovasi penanaman pendidikan karakter melalui pemahaman terhadap pemikiran hermeneutika dalam proses pembelajaran disekolah. Pemikiran hermeneutika mempunyai beberapa ciri khas, maka para pengguna membutuhkan panduan secara rinci untuk memperoleh tujuan pembelajaran disekolah secara berkelanjutan dan holistik/ menyeluruh. Umumnya siswa terbiasa dengan model pengajaran tradisional dengan sistem ceramah yang diberikan oleh guru. Pemikiran hermeneutika yang sangat berbeda membutuhkan usaha-usaha inovatif untuk mengubah kebiasaan tersebut. Guru mengklarifikasi konsep-konsep yang dipelajari secara jelas dan perlahan-lahan. Dengan mengenalkan siswa dengan permainan, kuis, diskusi, dan lainnya maka guru telah membawa siswa berperan lebih aktif, dan mereka tidak bisa hanya bertindak pasif semata. Perlahan-lahan namun secara meyakinkan, siswa beralih dari subjektifitas terbatas yang biasa mereka peroleh dalam proses pembelajaran model tradisional, menjadi subjektifitas yang luas melalui hermeneutika yang lebih menyeluruh dan bermakna.
A. Pendahuluan
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan budi pekerti berbasis karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang terjadi dan berkembang saat ini. Meningkatnya kenakalan remaja dilingkungan masyarakat, seperti: perkelahian antar pemuda, pelecehan seksual, bully, penyalahgunaan narkoba, dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di pelosok desa dan kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal khususnya sekolah sebagai wadah resmi pembinaan anak-anak dan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam pembentukan maupun penanaman kepribadian dan budi pekerti siswa sejak usia dini. Pembentukan dan penanaman kepribadian pada diri siswa bukanlah hal yang mudah, mengingat latar belakang siswa yang berbeda-beda baik, suku, ras, budaya, agama, dan lainnya. Salah satu alternatif dan upaya yang dapat ditawarkan untuk membentuk dan menanamkan kepribadian dan budi pekerti pada siswa sejak usia dini berupa penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran melalui kearifan sosial budaya lokal pada jenjang Sekolah Dasar.
Para peneliti pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya membentuk dan menanamkan kepribadian dan budi pekerti pada siswa sejak usia melalui pendidikan karakter melalui kearifan sosial budaya lokal pada jalur pendidikan formal, khususnya jenjang pendidikan dasar (Beddu et al. 2014; Sukadari, Suyata, and Kuntoro 2015; Uge, Neolaka, and Yasin 2019). Namun demikian berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa tantangan dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah. Tantangan-tantangan di era khususnya di era 5.0 berupa keterbaruan apa yang bisa diberikan ke publik dalam mengatasi permasalah fenomena sosial yang terjadi pada siswa. Menjawab tantangan-tantangan tersebut, terdapat beberapa alternatif yang dapat dikembangkan dengan mengadopsi hasil penelitian terdahulu, diantaranya: pendekatan perkembangan nilai karakter kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai karaker (Lind 2017; Muhammad, Reinita, and Fitria 2020).
Pendidikan Karakter adalah upaya dalam rangka membangun karakter (character building) peserta didik untuk menjadi lebih baik. Sebab, karakter dan kepribadian peserta didik sangat mudah untuk dibentuk. Secara etimologis karakter dapat dimaknai sesuatu yang bersifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun perangai. Secara terminologis, karakter dapat dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil. Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.
Pendidikan karakter memiliki andil yang besar untuk memajukan peradaban bangsa agar menjadi bangsa yang semakin terdepan dengan Sumber Daya Manusia yang berilmu, berwawasan dan berkarakter. Pendidikan karakter siswa sangat luas karena terkait dengan pengembangan multi aspek potensi-potensi keunggulan bangsa. Diuraikan dalam Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, (2010) menyebutkan bahwa: (a) karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa, (b) karakter berperan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing, (c) karakter harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat.
Dalam hal pembinaan karakter siswa akan mengerucut pada tiga tujuan besar, yaitu: (1) menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, dan (3) membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat. Pendidikan karakter siswa harus diaktualisasikan secara nyata untuk menjaga jati diri bangsa dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, pendidikan karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Tetapi penting untuk segara dikemukakan bahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat) (Lewis and Ponzio 2016). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah adalah lembaga yang mengusahakan dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise) (Pombinho 2015). bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.
B. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai penggunaan yang disengaja dari semua dimensi kehidupan sekolah untuk mendorong pengembangan karakter yang optimal (M.-T. Wang and Holcombe 2010). Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/ lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyeleng-garakan pendidikan harus berkarakter.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyeleng-garaan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masya-rakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
C. Kearifan Sosial Budaya Lokal
Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Terdapat sumber-sumber kearifan budaya lokal, diantaranya:
1. Potensi Manusia.
Al-ghazali menyebut potensi manusia ada empat komponen, yaitu: ruh, kalbu, akal dan nafsu. Sigmund Freud membagi komponen sistem kepribadian manusia meliputi: super ego, ego dan id. Sedangkan Bloom membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga komponen, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Adapun Howard Gardner menjabarkan lagi kedalam delapan kecerdasan, yaitu: linguistik, logis-matematis, spasial, kinestetik jasmani, musikal, antarpribadi, intrapribadi dan naturalis. Pengembangan program pendidikan yang meliputi tujuan, kurikulum, metode pembelajaran dan lingkungan pendidikan haruslah berbasis pada potensi manusia anak didik.
2. Potensi Agama
Hampir tidak ada pendidikan diberbagai belahan dunia ini yang lepas dari pengaruh agama, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Dunia pendidikan yang gelap terhadap nilai-nilai moral etis, serta kehidupan bangsa yang dipenuhi dengan keserakahan dan kemunafikan, mengharuska adanya penguatan nilai-nilai sufisme, bukan hanya melalui pendidikan agama, tetapi juga semua mata pelajaran, keteladanan dan budaya sekolah. Sekolah, perguruan tinggi dan pesantren bukan hanya benteng penjaga moral terakhir, tetapi juga diharapkan dapat melahirkan manusia-manusia yang bijak dan bermoral.
3. Potensi Budaya
Budaya adalah nilai, proses dan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Budaya atau kebudayaan nasional memiliki kedudukan sangat penting dalam program pengembangan pendidikan nasional suatu bangsa atau muatan lokal suatu daerah. Bangsa yang berbudaya dan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai, mengembangka dan mewariskan budayanya kepada generasi muda. Melalui kekayaan budaya yang dimiliki, seharusnya kita bisa menyusun berbagai model dan program pendidikan dan pembelajaran, bisa dalam bentuk program studi, intrakurikuler, ekstrakurikuler maupun dalam bentuk budaya sekolah.
4. Potensi Alam
Lewat program pendidikan berbasis potensi lingkungan, diharapkan tumbuh kearifan lokal dan karakter yang peduli lingkungan dan sebaliknya dapat memanfaatkan potensi lingkungan hidupnya. Orang yang arif adalah orang yang hidupnya harmoni dengan lingkungan seraya dapat memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan hidupnya dan orang yang berkarakter akan marah apabila lingkungan ekosistemnya dirusak.
Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya
Pendidikan merupakan pilar utama penentu kemajuan suatu bangsa yang termanifestasi pada kualitas sumber daya manusia yang cerdas, berkarakter, berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan berdaya saing. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Penerapan pendidikan karakter melalui kearifan sosial budaya lokal, setidaknya terdiri dari 9 (sembilan) pilar karakter. Sembilan pilar karakter tersebut meliputi: 1) cinta tuhan dan segenap ciptaanNya (love Allah, trust, reverence, loyalty); 2) tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness); 3) kejujuran/amanah dan arif (trustworthines, honesty, and tactful); 4) hormat dan santun (respect, courtesy, obedience); 5) dermawan, suka menolong dan gotong-royong/kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation); 6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm); 7) kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership); 8) baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty) ; 9) toleransi, kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity). Meskipun demikian, terdapat 6 karakter umum yang diterima secara menyeluruh dalam berbagai aspek, khususnya aspek pendidikan, diantaranya: 1) trustworthiness (jujur/dapat dipercaya), 2) respect (menghargai), 3) responsibilty (tanggung jawab), 4) fairness (adil), 5) caring (peduli), dan 6) citizenship (kewarganegaraan).
D. Pemikiran Hermeneutika dalam Inovasi Pendidikan Karakter
Perlu adanya upaya memadukan alternatif-alternatif melalui penelitian terdahulu dalam melakukan inovasi penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran melalui kearifan sosial budaya lokal khususnya pada jenjang Sekolah Dasar. Inovasi tersebut diharapkan mampu menjawab tantangan dalam mengatasi fenomena sosial yang terjadi pada siswa. Salah satu inovasi yang ditawarkan berupa penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran melalui kearifan sosial budaya lokal. Kearifan sosial budaya lokal dipandang sebagai sebuah jalan untuk menjelaskan berbagai masalah dalam kaitannya sebagai intepretasi. Hal tersebut bertolak dari buah pikir Friedrich Daniel Ernst Schleiremacher (1768-1834) tentang hermeneutika adalah pemahaman terhadap seluruh ungkapan baik berupa lisan atau tulisan. Selain sebagai upaya menanamkan kepribadian dan budi pekerti pada siswa, langkah ini merupakan upaya nyata mempertahankan jati diri dan keunggulan budaya lokal, serta adat istiadat tatakrama ketimuran. Hal ini kalau tidak dilestarikan atau diajarkan kepada anak didik akan terjadi kepunahan.
Inovasi tersebut mengadopsi dari pemikiran Hermeneutika, yang mana pemikiran tersebut mengulas hubungan antara hermeneutika dan pendidikan. Seringkali kedua hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit atau kurang diteliti, namun demikian keduanya tetap menjadi pusat disiplin ilmu tersebut. Hermeneutika dapat diartikan secara luas sebagai praktik dan teori interpretasi, khususnya praktik dan teori teks (De Guzman 2004). Dalam kasus malformasi, sangat tergantung pada penggunaan teks dan kemampuan siswa untuk menafsirkan dan memahaminya. Namun, tidak ada bidang yang membatasi penggunaan teks. Keduanya berkaitan dengan komunikasi interpersonal dan kemampuan memahami orang lain dalam situasi percakapan sehari-hari sebagai bentuk dari menerima dan menyampaikan informasi. Singkatnya, bahasa dan kemampuan yang digunakan dalam proses pembelajaran melalui kearifan sosial budaya lokal, mengarahkan siswa untuk memahami, meniru, dan merapkan sebagai perilaku yang baik dalam diri siswa.
1. Hermeneutika Schleiremacher
Pemikiran Hermeneutika Schleiremacher berkembang dari skema pergerakan romantik awal yang juga merupakan babak revolusi kehidupan intelektual di Eropa pusat. Pergerakan romantik selanjutnya romantisisme adalah pergerakan yang muncul atas reaksi supremasi rasio pada abad pencerahan yang dianggap kaku dalam tingkat pemahaman dan cenderung rasionalistik serta dianggap dapat menurunkan tingkat kebenaran ilmiah yang muncul sebagai gerakan kultural di Eropa dan Amerika 1775-1830.
Dalam kaitannya dengan konsep pemahaman tersebut tentunya telah dapat ditemukan bahwa hermeneutika Schleiremacher mengarah kepada penekanan pemahaman. Hermeneutika dipandang sebagai sebuah jalan untuk menjelaskan berbagai masalah dalam kaitannya sebagai interpretasi. Pada poin ini dapat disimpulkan bahwa tolak pemikiran Schleiremacher tentang hermeneutika adalah pemahaman terhadap seluruh ungkapan baik berupa lisan atau tulisan. Artinya, dalam setiap kegiatan memahami akan selalu ada konversi pendengar dan pembicara yang saling berkaitan.
2. Hermeneutika Wilhelm Dilthey
Pemikiran Hermeneutika Wilhelm Dilthey
upaya untuk mendalami dan mengadakan analisis yang cukup mendalam serta komprehensif dalam proses pemahaman yang ia pandang sebagai jalan manusia untuk dapat mengetahui kehidupan pikiran (kejiwaan) manusia itu sendiri dan kehidupan (kejiawaan) manusia yang lainnya (Muslih et al. 2021).
berDalam kaitannya dengan hermeneutika, Dilthey memulai tujuannya dengan berupaya mengembangkan sebuah metode dalam memperoleh interpretasi “obyektivitas yang valid” dari “ekspresi kehidupan-batin”. Dilthey juga mengkritisi sejumlah pemikiran tentang studi manusia yang ia anggap membunuh dan hanya mengadopsi norma-norma serta cara pikir yang didapat dari alam kemudian digunakan dalam pengembangan studi manusia (Z. Wang, Palmer, and Beese 2016). Dalam pemikirannya tersebut yang menjadi kualitas Dilthey adalah determinasi pengalaman konkret, dan bukan spekulasi yang ia anggap harus menjadi titik tolak yang memungkinkan teori Geisteswissenschaften dapat diterima. Teori Geisteswissenschaften adalah poin terpenting Dilthey di mana teori ini terfokus pada semua aspek keilmuan yang berkaitan dengan sosial dan kemanusian.
Di dalam pergelutan pemahaman yang ditawarkan Dilthey atas teori Geisteswissenschaften-nya, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami untuk sampai pada konsepsi Dilthey tersebut. Pertama “Pengalaman” (Erfahrung dan Erlebnis) merupakan dua kata yang diambil dari bahasa Jerman. Dalam kaitannya dengan pengalaman Dilthey lebih merujuk pada kata yang spesifik Erlebnis yang merupakan kata kerja Erleben (mengalami, khusus pada individual).
Kedua “ekspresi” Ausdruck dalam bahasa Jerman yang secara prinsip Dilthey memposisikannya sebagai satu hal yang mendekati ikatan perasaan. Namun, secara detail Ausdruck tidak digunakan oleh Dilthey dalam mengacu sebuah emosi atau perasaan, akan tetapi lebih tinggi dari kedua hal tersebut. Dilthey memandang bahwasanya ekspresi bukan merupakan sebuah bentukan perasaan, namun lebih kepada sebuah ekspresi hidup dan mengacu pada ide, hukum, bentuk sosial, serta bahasa yang selalu merefleksikan kehidupan manusia.
Ketiga adalah ”pemahaman”, menurut Dilthey pemahaman bukanlah suatu konsep rasional yang pasti layaknya problem Matematika. Pemahaman dalam konsep Dilthey memiliki kata kunci seperti pada konsep pengalaman ekspresi, yang memiliki makna khusus. Pemahaman pada konsep ini adalah sebagai proses untuk mengetahui kehidupan (kejiwaan) melalui ekspresi-ekspresi yang diberikan oleh indra. Dalam prosesnya pun diperlukan rasa penuh pengertian terhadap ekpresi-ekspresi yang dihadapi. Dilthey memberikan penekanan terhadap pentingnya Sympathie, das Miterleben (rasa simpati) dalam proses pemahaman (Z. Wang, Palmer, and Beese 2016).
3. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer
Pemikiran Hermeneutika Hans-Georg Gadamer yaitu menguraikan keterkaitan bahasa sebagai penentuan objek dan bahasa sebagai penentuan tindakan hermeneutika. Sebagai penentuan objek, tulisan menurut Gadamer adalah idealitas abstrak dari bahasa. Makna hermeneutik merupakan satu hal yang berkaitan tentang fakta di mana sebuah tradisi memiliki sifat linguistik dan ditunjukkan ketika tradisi tersebut tertulis “melepaskan dari perwujudan asli” (Risser 2010). Tradisi tertulis bukan merupakan tradisi tentang masa lalu, Gadamer memberikan makna tradisi tertulis yang luas karena tradisi adalah sebuah konsep untuk menjadikan suatu hal tentang makna yang dapat melampaui apa yang diungkapkan. Tulisan “teks” akan selalu terdapat tanda yang perlu ditransformasikan ke dalam makna dan inilah pemikiran Gadamer yang sejati mengenai hermeneutika.
4. Hermeneutika Paul Ricoeur
Pemikiran Hermeneutika Paul Ricoeur berkaitan dengan hermeneutika, Ricoeur memberikan pandangan bahwa hermeneutika adalah jalan untuk membuka makna sesungguhnya yang dapat mengurangi keberagaman makna dalam simbol-simbol (Wachid 2006). Namun, secara prinsipil Ricoeur memberikan pandangan yang lebih terhadap hermeneutika dari hanya sekedar interpretasi makna. Dalam tahapan hermeneutik, Ricoeur menambahkan pandangannya terhadap teks. Menurut Ricoeur teks adalah setiap diskursus yang dibakukan melalui tulisan yang kemudian menjadi ciri yang konstruktif dari teks itu sendiri (Wulandari 2016).
Dengan penjelasan tersebut maka Ricoeur sangat teguh dalam memandang hermeneutika sebagai seni dalam memberikan makna terhadap teks, tetapi pemaknaan teks hanya akan diberikan melalui struktur-struktur pekerjaan. Dengan demikian, interpretasi adalah jawaban atas jarak mendasar yang dibentuk oleh objektivikasi manusia dalam karya-karya teks, sebuah objektivikasi yang sebanding dengan yang dinyatakan dalam produk-produk kerja dan seninya.
E. Kesimpulan
Penerapan pendidikan karakter berbasis kearifan sosial budaya lokal untuk lingkungan sekolah agar memiliki efektivitas yang baik dalam membentuk karakter siswa yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan tradisi yang dikehendaki sekolah, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) sumber nilai karakter berasal dari lingkungan budaya sekolah, lingkungan keluarga dan masyarakat; 2) pengungkapan nilai budaya dan tradisi sebagai bahan pendidikan karakter dapat berupa petunjuk, keteladanan, larangan, perintah, dan kewajiban terhadap seluruh anggota dilingkungan sekolah; 3) adanya arahan-arahan, misalnya larangan, kewajiban dan perintah yang dilakukan di lingkungan sekolah, rumah dan masyarakat dalam jangka waktu yang lama yang secara terus menerus akan memunculkan nilai-nilai dan tradisi budaya di lingkungan sekolah, sehingga sekolah menjadi masyarakat dengan lingkungan budayanya sendiri. 4) nilai-nilai karakter di lingkungan sekolah dapat diwariskan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan sekolah secara terpadu, terpadu dan terlembaga serta dapat menciptakan semacam “sistem ritual” tergantung sekolah masing-masing; 5) kepala sekolah dan guru dapat berperan sebagai panutan, sebagai orang tua, pendidik, wali dan pengontrol struktur dan proses sosial yang terjadi di sekolah. Peran kepala sekolah dan semua guru seperti beliau akan menjadi faktor penentu efektifitas pendidikan karakter di lingkungan sekolah; 6) semua input, proses, dan output harus berlangsung dalam budaya sekolah yang bertahan dalam mekanisme sibernetik.
Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai bentuk inovasi penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran di sekolah dasar melalui kearifan sosial budaya lokal. Adapun langkah tersebut, meliputi: 1) Mengintegrasikan pada mata pelajaran yang ada di dalam struktur kurikulum dan mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) melalui kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Sebagai kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler, setiap guru menyusun dokumen perencanaan pembelajaran berupa Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai mata pelajarannya masing-masing. Nilai-nilai utama pendidikan karakter dalam pembelajaran disekolah melalui kearifan sosial budaya lokal diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sesuai topik utama nilai pendidikan karakter yang akan dikembangkan/dikuatkan pada sesi pembelajaran tersebut dan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing. 2) mengimplementasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran disekolah melalui kearifan sosial budaya lokal melalui kegiatan ekstrakurikuler yang ditetapkan oleh satuan pendidikan. Pada kegiatan ekstrakurikuler, satuan pendidikan melakukan penguatan kembali nilai-nilai karakter melalui berbagai kegiatan. Kegiatan ekstra kulikuler dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan masyarakat dan pihak lain/lembaga yang relevan, seperti PMI, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perdagangan, museum, rumah budaya, dan lain-lain, sesuai dengan kebutuhan dan kreativitas satuan pendidikan, dan 3) kegiatan pembiasaan melalui budaya sekolah dibentuk dalam proses kegiatan rutin, spontan, pengkondisian, dan keteladanan warga sekolah. Kegiatan-kegiatan dilakukan di luar jam pembelajaran untuk memperkuat pembentukan karakter sesuai dengan situasi, kondisi, ketersediaan sarana dan prasarana di setiap satuan pendidikan.
REFERANCE
Beddu, Syarif, Arifuddin Akil, Wiwik Wahidah Osman, and Baharuddin Hamzah. 2014. “Eksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Landasan Perumusan Tatanan Perumahan Dan Permukiman Masyarakat Makassar.” dalam Prosiding Temul Ilmiah IPLBI. Tersedia secara online juga di: https://eng. unhas. ac. id/arsitektur/files/5ae0ad4fceba7. pdf [diakses di Bandung, Jawa Barat, Indonesia: 3 November 2019].
De Guzman, Allan B. 2004. “The Hermeneutics of Learner-Centered Approaches and Initiatives in the Philippine Basic Education Sector.” Educational Research for Policy and Practice 3(3): 223–41.
Lewis, McRobert, and Veronica Ponzio. 2016. “Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future.” Jurnal Ilmiah Peuradeun 4(2): 137–46.
Lind, Georg. 2017. “The Theory of Moral-Cognitive Development a Socio-Psychological Assessment.” In Moral Judgments and Social Education, Routledge, 25–48.
Muhammad, Milotul, Reinita Reinita, and Yanti Fitria. 2020. “Pendekatan Value Clarification Technique Dalam Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar.” Jurnal Pendidikan Tambusai 4(2): 1480–93.
Muslih, Mohammad, Abdul Rohman, Yusuf Al Manaanu, and Abdul Aziz. 2021. “Pengembangan Ilmu Sosial Model Fenomenologi Dan Hermeneutika.” Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika 7(1).
Pombinho, João Pedro Marques. 2015. “Value-Oriented Enterprise Transformation: Design and Engineering of Value Networks.”
Risser, James. 2010. “Gadamer’s Hidden Doctrine: The Simplicity and Humility of Philosophy.” Consequences of hermeneutics: Fifty years after Gadamer’s Truth and method: 5–24.
Sukadari, Sukadari, Suyata Suyata, and Shodiq A Kuntoro. 2015. “Penelitian Etnografi Tentang Budaya Sekolah Dalam Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar.” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi 3(1): 58–68.
Uge, Sarnely, Amos Neolaka, and Mahmuddin Yasin. 2019. “Development of Social Studies Learning Model Based on Local Wisdom in Improving Students’ Knowledge and Social Attitude.” International Journal of Instruction 12(3): 375–88.
Wachid, Abdul Wachid B S. 2006. “Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur Dalam Memahami Teks-Teks Seni.” Imaji: Jurnal Seni dan Pendidikan Seni 4(2).
Wang, Ming-Te, and Rebecca Holcombe. 2010. “Adolescents’ Perceptions of School Environment, Engagement, and Academic Achievement in Middle School.” American educational research journal 47(3): 633–62.
Wang, Zhuqing, Todd A Palmer, and Allison M Beese. 2016. “Effect of Processing Parameters on Microstructure and Tensile Properties of Austenitic Stainless Steel 304L Made by Directed Energy Deposition Additive Manufacturing.” Acta Materialia 110: 226–35.
Wulandari, Sri. 2016. “Makna Simbol dan Kata dalam Novel Hati Sinden Karya Dwi Rahyuningsih: Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur.” Jurnal Edu-Kata 3: 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar