PENERAPAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

 Abstrak: Perjalanan belajar mengajar berlangsung terus menerus dan sepanjang hayat. Hal ini tidak hanya terbatas pada apa yang kita pelajari di ruang kelas tetapi di luar tingkat itu. Dalam perjalanan pendidikan ini, guru memiliki peran utama dalam membangun kepribadian siswa. Dengan mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki kekuatan yang berbeda dengan kebutuhan belajar yang berbeda, maka menjadi tanggung jawab seorang guru untuk memfasilitasi siswa dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan berpikir kritis dengan menerapkan berbagai strategi inovatif. Selain itu, lingkungan yang positif dan kondusif serta dukungan guru menciptakan lingkungan yang baik untuk pembelajaran sepanjang hayat siswa. Tulisan ini, menjelaskan filosofi tentang pendidikan dan pembelajaran dari segi siswa, guru, dan lingkungan belajar.


A. Pendahuluan

Filsafat adalah apa yang seseorang pikirkan, evaluasi, dan yakini. Setiap orang memiliki filosofi belajar mereka sendiri, tetapi mempelajari filosofi diri sendiri tidaklah mudah. Mencapai dan mengeksplorasi ide-ide batin membutuhkan penyesalan terus-menerus dan banyak pekerjaan. Filosofi pendidikan dan pembelajaran muncul dari nilai-nilai yang dipelajari dari beberapa pertemuan dan pengalaman hidup: orang tua, guru, dan pengalaman diri sendiri. Tulisan ini menyajikan filosofi tentang pendidikan dalam konteks guru, siswa, proses pendidikan dan pembelajaran, dan lingkungan belajar.

Menurut falsafah pendidikan, belajar adalah jalan sepanjang hayat dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang. Peran guru dalam kehidupan siswa adalah memotivasi dan menambah wawasan dengan menjadi panutan bagi siswa (Susilo and Sofiarini 2020). Tugas mereka adalah membantu dan mempromosikan perolehan pengetahuan dan keterampilan siswa. Pada saat yang sama, lingkungan belajar akademik yang positif dan aman sangat penting bagi siswa untuk mencapai hasil belajar yang nyaman dan maksimal.

1. Guru

Guru perlu merenungkan filosofi dan nilai pribadi mereka. Mengetahui hal ini, perasaan kita masing-masing adalah rahasia penting dan cara untuk menemukan gema kita sendiri. Ini membantu guru mendefinisikan dan membentuk filosofi pendidikan mereka. Ini juga membantu mereka bergulat dengan pikiran mereka sendiri. Terkadang itu bisa mengubah pikiran seseorang atau memperkuat sudut pandang seseorng. Ketika guru melihat kembali filosofi mereka, mereka dapat menganalisis perilaku mereka dan melihat perbedaan dalam prinsip, nilai, pengetahuan, dan praktik mereka. Guru harus menjadi panutan yang positif bagi siswa. Jika guru mengharapkan siswa mereka untuk mengikuti aturan tertentu, prinsip yang sama berarti bahwa mereka memberi contoh dan mengajar (Iskandar 2013). Apa yang siswa pelajari dari guru tidak terbatas pada kurikulum formal. Namun keteladanan guru perlu membimbing siswa untuk mempelajari pelajaran hidup yang luar biasa yang membentuk kepribadian mereka sebagai orang baik.

Dewasa ini, tuntutan akan teknologi semakin meningkat dan siswa terbiasa dengan metode pembelajaran virtual. Oleh karena itu, perubahan ini harus dilihat sebagai sikap positif bagi guru dan harus terus diperbarui dengan tren baru untuk mendukung kebutuhan belajar siswa. Selain itu, guru harus fleksibel dan perlu memahami bahwa segala sesuatunya tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Terkadang keadaan berjalan sebaliknya. Agar fleksibel, guru perlu menyesuaikan rencana pelajaran dan kursus dengan kebutuhan siswa mereka.

2. Siswa

Lingkungan akademik terdiri dari siswa dengan latar belakang yang berbeda, yang masing-masing merupakan individu yang unik. Beberapa siswa belajar dengan cepat, yang lain belajar dengan lambat. Kecepatannya dapat bervariasi, tetapi semua siswa dapat belajar. Siswa tidak boleh dianggap bodoh. Sebaliknya, mereka harus dilihat sebagai individu yang berbagi, berkontribusi, dan belajar satu sama lain di kelas. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil belajar inti, guru perlu memasukkan strategi belajar mengajar berdasarkan kecepatan dan pemahaman siswa.

Belajar adalah suatu pengaturan di mana tanggung jawab terletak secara seimbang di antara para pihak. Jika guru bertanggung jawab untuk membuat sesi menjadi interaktif, maka siswa juga bertanggung jawab untuk menghadiri kelas dengan lantang dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Dengan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, siswa dapat berpikir kritis dan menjadi sadar akan tujuan pendidikannya (Surayya, Subagia, and Tika 2014). Namun, ini mungkin tidak berlaku untuk semua skenario, karena siswa mungkin belum siap untuk kelas. Evaluasi yang dilakukan guru memegang peranan penting dalam hal ini. Misalnya, seorang guru pertama-tama dapat mengidentifikasi mengapa seorang siswa tidak siap sebelum kelas. Guru kemudian dapat menggunakan strategi motivasi untuk mendukung dan menangani siswa. Kami hanya menyediakan siswa dengan membaca terpandu. Menghilangkan topik yang tidak perlu dan menilai persentase bacaan pertama dapat digunakan sebagai strategi motivasi untuk membuat siswa membaca sebelum kelas.

Siswa dapat menjadi pembelajar yang baik dengan menerima kritik dan bersedia berubah. Siswa tidak menganggap umpan balik sebagai negatif, tetapi menganggapnya sebagai sambutan atau kesempatan untuk memungkinkan peningkatan berkelanjutan dalam disiplin pribadi dan profesional mereka. Namun, siswa mungkin merasakan umpan balik negatif. Dalam situasi ini, guru perlu mengubah gaya umpan balik. Misalnya, guru dapat memberikan umpan balik yang lebih positif dan memotivasi untuk meningkatkan kinerja dan perkembangan siswa.

3. Lingkungan Belajar

Lingkungan belajar akademik yang dirasakan siswa haruslah dirasa aman dan bersahabat sehingga siswa dapat berbagi pendapat dan pertanyaan mereka secara terbuka dan tanpa rasa takut. Dalam lingkungan belajar yang demokratis, siswa bebas mengungkapkan pikiran, membangun rasa percaya diri, dan menyeimbangkan hubungan kebebasan siswa-siswa (Bantali 2015). Hal ini berdampak positif bagi pembelajaran siswa.

Lingkungan sosial juga berperan penting karena kemudahan akses kegiatan ekstrakurikuler. Pada lembaga pendidikan yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan akademik dan ekstrakurikuler, diyakini bahwa siswa cenderung mengembangkan rasa memiliki. Selain itu, kegiatan ini biasanya menyediakan platform bagi siswa untuk terhubung dengan guru. Hubungan ini cenderung memfasilitasi dan memaksimalkan proses pembelajaran karena siswa menjadi lebih akrab dengan guru. Misalnya, pada pertemuan kecil, dorong siswa untuk sering berbicara dengan guru mereka. Hal ini memungkinkan siswa untuk membangun hubungan yang kuat dengan guru mereka. Kemudahan ini dapat meningkatkan minat dan partisipasi mahasiswa dalam pembelajaran.


B. Filsafat Pendidikan

Filsafat Pendidikan adalah bidang penerapan pemahaman filosofis untuk pemecahan masalah dalam pendidikan. Sejak tahun 1970-an, sebagian besar filsuf pendidikan telah memahami disiplin mereka sebagai bentuk filsafat terapan (Anwar 2015). Misinya adalah untuk memperjelas tujuan pendidikan, isi, metode, dan distribusi masyarakat saat ini. Oleh karena itu, filsafat pendidikan dalam beberapa hal serupa dengan etika kedokteran dan membawa filsafat moralitas dan filsafat pikiran kepada dilema profesional medis. Namun, ruang lingkup filosofis filsafat pendidikan lebih luas dan, seperti yang akan kita lihat, mencakup topik-topik dari hampir semua bidang filsafat umum. Secara lugas filsafat pendidikan di uraikan sebagai berikut:

1. Pendidikan liberal

Pendidikan liberal dalam pengertian ini berarti memperoleh bentuk-bentuk pengetahuan ini untuk diri kita sendiri, sebagai lawan dari tujuan eksternal seperti belajar fisika dan menjadi seorang insinyur (Soeharto 2010). Oleh karena itu, Hurst, yang terkait erat dengan Peters dalam mendirikan filsafat pendidikan di Universitas London pada 1960-an, berbagi fokus rekannya pada makna batin, terutama dalam hal pencarian kebenaran meningkat. Teori Hurst populer di kalangan reformis pendidikan tingkat pemerintah yang ingin memperluas untuk memasukkan pendidikan intelektual yang ketat yang sejauh ini kurang mereka nikmati.

Menjadi jelas bahwa kita harus mulai lebih jauh dengan penilaian yang komprehensif dari tujuan pendidikan kita. Ini kemudian membutuhkan penjelasan tentang jenis masyarakat di mana tujuan-tujuan ini bekerja. Bekerja pada tujuan dan konten telah banyak dilakukan dalam kerangka demokrasi liberal selama 25 tahun terakhir dan telah sangat dipengaruhi oleh ide-ide filosofis umum liberalisme dan nilai-nilai liberal.

Sebagian besar sejarah filsafat pendidikan dewasa ini dapat dibaca sebagai upaya untuk merumuskan penjelasan defensif tentang pendidikan yang cocok untuk masyarakat liberal dan untuk memisahkannya dari versi yang lebih rumit. 

2. Pendidikan moral

Kembali ke tujuan moral pendidikan. Pendidikan moral, seperti yang sering diyakini, bukanlah bidang pendidikan yang terpisah ketika anak-anak dibesarkan untuk melihat kebaikan mereka tidak dapat dipisahkan dari kebaikan orang lain. Tapi apapun situasinya, ada perbedaan pemahaman. 

 Lebih umum, pendidikan moral tidak dapat memberi mereka sumber daya intelektual untuk membedakan ajaran rasional dari yang lain. Ini membawa kita ke pendekatan kedua untuk pendidikan moral, terutama didukung oleh Richard Peters dan para pengikutnya (Peters, Tesar, and Locke 1973). Peters membedakan antara tahap dasar, di mana bayi terbiasa mengikuti aturan moral, dan tahap akhir, di mana mereka merenungkan kecukupan aturan dari tingkat yang lebih tinggi dan belajar untuk mengikuti hanya mereka yang lulus tes ini. Dalam versi Peter, dipengaruhi oleh gagasan Kant tentang Imperatif Kategoris, standar rasional berada dalam prinsip-prinsip moral dasar seperti ketidak berpihakan, kebenaran, kebebasan dan kebajikan. 

3. Berpikir kritis dan kreativitas

Sebagian besar bab ini sejauh ini telah membahas tujuan pendidikan umum. Area konten tertentu juga berada di bawah mikroskop filsuf. Sastra selama tiga dekade terakhir mencakup banyak karya unggulan tentang membaca, sejarah, sains, matematika, seni visual, musik, sastra, pendidikan agama, berpikir kritis, filsafat, pendidikan pribadi dan sosial, olahraga, dan pendidikan jasmani. Sangat sering, ini adalah contoh peran tradisional seorang filsuf lalim sejak Socrates, yang meneliti berbagai kepercayaan tradisional.

Masalah yang lebih besar dari transferabilitas atau kekhasan keterampilan berpikir umum juga dibagi oleh banyak filsuf pendidikan yang menulis tentang berpikir kritis, terutama di Amerika Utara (Langsdorf 1988). Orang yang mengklaim kemampuan transfer mungkin menemukan audiens yang tertarik pada guru, terutama mereka yang bertanggung jawab atas siswa yang tidak termotivasi di kelas mata pelajaran tertentu. Pekerjaan berpikir kritis terkadang berfokus pada pengajaran logika formal, dan terkadang pada isu-isu yang dekat dengan pendidikan pribadi, moral, dan kewarganegaraan siswa. Ia memiliki ketertarikan untuk bekerja pada pengajaran filsafat kepada anak-anak. Ada beberapa varian yang terakhir, yang terkait dengan banyak masyarakat dan pusat pertumbuhan untuk mempromosikannya. Beberapa di antaranya adalah untuk siswa yang lebih tua di atas usia 14 tahun, dan seringkali merupakan versi yang lebih tipis dari filosofi sarjana yang dievaluasi melalui ujian umum. Namun, ada juga antusiasme untuk mengajar filsafat kepada anak-anak yang masih sangat kecil di bawah usia 10 atau 11 tahun. Kritikus mungkin bertanya-tanya apakah ini filosofi yang "benar", tetapi para pendukung terkesan dengan spontanitas dan antusiasme yang diklaim anak-anak kecil untuk terjun ke pencarian filosofis.

4. Pikiran dan pembelajaran siswa

Pendidikan "berpusat pada siswa" memiliki banyak implikasi. Termasuk di dalamnya pendidikan yang mengutamakan pengembangan siswa dan mata pelajaran sekolah. Untuk menumbuhkan otonomi individu, siswa membutuhkan sejumlah pengetahuan dan pemahaman. Cara menafsirkan pendidikan yang "berpusat pada siswa" ini tidak memiliki jalan setapak dari ide-ide romantis yang memanfaatkan kekuatan kreatif dan moral yang melekat pada sifat anak. Ini bertujuan untuk memberi orang tua dan guru peran sentral dalam membentuk pikiran dan kepribadian anak-anak ke arah yang diinginkan, memanfaatkan tradisi intelektual dan lainnya yang berakar pada disiplin dan kehidupan sosial yang lebih luas.

Psikolog tradisional Galton mengukur kecerdasan dengan tes "kecerdasan" individu yang telah terbukti relatif kebal terhadap populasi dengan jumlah yang berbeda dan di sepanjang kurva distribusi normal berbentuk lonceng, yang diklaim sebagai "kemampuan kognitif umum alami". Dibesarkan melalui pelajaran. Berdasarkan pengetahuan ini, siswa sebagian besar dibagi ke sekolah menengah yang berbeda, tergantung pada tingkat kecerdasan mereka. Mereka juga bertanya-tanya seberapa banyak mereka bisa menarik kesimpulan tentang keputusan yang dibuat di lapangan sepak bola dan aktivitas sehari-hari dari hasil tes kecerdasan yang cenderung berfokus pada matematika, logika, dan keterampilan bahasa. Asumsi bahwa siswa memiliki batasannya sendiri untuk pencapaian intelektual juga telah dikritik karena sulit untuk mengetahui bukti apa yang mendukung atau menyangkal hal ini. (Dalam hal ini, ini mirip dengan gagasan keagamaan bahwa Tuhan itu ada, atau gagasan politik yang tersirat dalam beberapa versi Marxisme bahwa arah peristiwa sejarah di masa depan sudah direncanakan). Menariknya, gagasan bahwa ada batas-batas kognitif di mana seorang individu tidak dapat bergerak adalah umum bagi doktrin IQ dan teori perkembangan anak (dengan daya tariknya pada konsep organisme dewasa seperti tubuh manusia dewasa).


C. Pendidikan dan Pembelajaran Sekolah

Belajar dan mengajar adalah perjalanan yang tak terpisahkan sepanjang hidup. Perjalanan ini tidak terbatas pada ruang kelas, tetapi dibentuk oleh sumber belajar lainnya, termasuk interaksi sosial. Penting untuk mengambil semua peluang belajar dengan serius dan memaksimalkan keuntungan Anda. Proses pendidikan dan pembelajaran sebagai proses timbal balik dimana siswa dan guru belajar bersama dan tumbuh bersama. Untuk lebih adil hubungan antara pendidikan dan pembelajaran, rasa ingin tahu siswa berguna dalam menghasilkan pengetahuan dan mengajukan pertanyaan. Keterampilan bertanya siswa dan guru berperan penting dalam meningkatkan berpikir kritis siswa. Ini berfungsi sebagai dasar untuk proses pembelajaran dan mengembangkan pemikiran logis. Mengajukan pertanyaan menarik, menginspirasi pemikiran yang mendalam, dan memungkinkan konsentrasi intelektual. Mencerminkan pernyataan filosofi pendidikan ini menunjukkan bahwa pengetahuan harus diubah menjadi kebutuhan siswa dengan cara yang membuat mereka pemikir kritis daripada menghafal.

Pelajaran bukanlah pengetahuan dengan formula yang ditentukan yang cocok untuk semua siswa di semua skenario. Oleh karena itu, tutorial harus didasarkan pada dua hal. Salah satunya adalah apa yang disampaikan dan yang lainnya adalah gaya belajar siswa. Hal ini sejalan dengan teori kecerdasan ganda Gardner bahwa ada banyak cara untuk memperoleh pengetahuan dan memaksimalkan pembelajaran. Berbagai strategi membantu menarik perhatian dan perhatian siswa dan mempertahankan pengetahuan penting. Orang dapat dengan mudah mempelajari apa yang mempesona imajinasi mereka. Siswa juga banyak belajar ketika berkumpul dalam diskusi-diskusi kontroversial seperti debat, dilema kontroversial, dan skenario kasus. Ini membantu mereka mengembangkan keterampilan rasionalisasi dan memberikan kesempatan untuk menggunakan berbagai jenis pengetahuan. Misalnya, jika seorang guru menggunakan kombinasi ceramah tradisional dan debat siswa, siswa akan belajar dari guru dan siswa lainnya. Anda juga akan mengenal konsep dari berbagai perspektif. Oleh karena itu, pendekatan multifaset ini membantu menciptakan lingkungan belajar yang positif bagi semua siswa.

Belajar pada dasarnya adalah konten-independen, tetapi membutuhkan perencanaan yang luas dan menyeluruh. Rencana tindakan sangat penting untuk mencapai tujuan dan sasaran. Perencanaan yang tepat bertujuan untuk menjaga konsentrasi siswa dan guru, mencapai tujuan ini dalam kerangka waktu, dan, sebagai hasilnya, memaksimalkan keuntungan. H. Belajar menawar. Langkah-langkah dalam siklus perencanaan pendidikan meliputi evaluasi, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam pendidikan, langkah pertama dalam evaluasi adalah mengumpulkan informasi dari berbagai sumber tentang apa yang sudah diketahui siswa dan apa yang perlu mereka ketahui. Langkah kedua adalah perencanaan. Ini melibatkan pengembangan tujuan dan sasaran yang sesuai untuk tingkat siswa. Langkah ketiga, implementasi, adalah mewujudkan rencana atau mengeksekusinya. Akhirnya, penilaian merupakan bagian penting dari siklus perencanaan, yang melibatkan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pelajar dan mengukur hasil. Untuk mengukur hasil belajar siswa, perlu direncanakan kombinasi ujian formatif dan ujian komprehensif yang berbeda.

Penjelasan tentang pendidikan harus didasarkan pada beberapa jenis sifat manusia. Pembobotan relatif dari aspek biologis dan sosial ini merupakan isu sentral di bidang ini. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam pembahasan tentang bagaimana konsep itu diperoleh. Deskripsi belajar sebagai proses pencarian ide-ide bawaan Platon's memiliki kesamaan modern dengan teori "perangkat pemerolehan bahasa" bawaan Chomsky, tetapi sebagian besar ahli teori pendidikan modern percaya bahwa siswa akan mempelajari konsep tersebut. Konsisten dengan atomisme mereka dan peran terbatas yang diberikan kepada mereka oleh guru, banyak teori "berpusat pada siswa" tentang perubahan romantis yang diabstraksikan dari fitur umum pengalaman indera dengan konsep dasar.Ini menunjukkan bahwa itu dapat diperoleh dengan berkultivasi (Dearden 2012).


D. Penerapan Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan dan Pembelajaran

Ada banyak bidang filsafat pendidikan. Beberapa dari mereka dirancang untuk membantu guru dan yang lain dirancang untuk membantu pembuat kebijakan. Selain itu, bidang-bidang filsafat lain dapat digunakan untuk melihat penelitian pendidikan, terutama penelitian empiris dalam psikologi dan ilmu-ilmu sosial (Barrow 2015). Salah satu penerapan filsafat yang adapat digunakan dalam dunia pendidikan adalah filsafat fragmatisme.

Fragmatisme merupakan suatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sehingga ucapan, hukum atau teori yang ada dapat dikatakan benar jika mendatangkan manfaat. Kebenaran diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam dalam kehidupan manusia.

Penerapan filsafat pragmatisme dalam pembelajaran untuk memberi suatu sumbangan besar terhadap teori pendidikan. Menurut filsafat pragmatisme ini, pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar dan juga bukan dari dalam dirinya sendiri. Pendidikan filsafat adalah pendidikan yang menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan akan membosankan seperti dalam pendidikan sekolah tradisional (Priyanto 2017). Siswa harus diberikan kebebasan menyalurkan pendapat tidak hanya menerima pengetahuan dari guru saja, melainkan guru menciptakan suasana baru yang bermanfaat atau berguna agar siswa selalu haus akan pengetahuan.

Sebagaimana dikemukakan Callan and Clark (1983), penganut eksperimentalisme atau pragmatism mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri dan discovery learning method) (Maslakhah 2019). Dalam praktik mengajar, metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan (permissive), bersahabat (friendly), seorang pembimbing (aguide), berpandangan terbuka (openminded), bersifat antusias (enthusiastic), kreatif (creative), sadar bermasyarakat (social aware), siap siaga (alert), sabar (patient), bekerjasama dan ikhlas atau bersungguh-sungguh (cooperative and sincere).

Berdasarkan kajian di atas, maka dapat dikaji bahwa konsep pembelajaran sains yang dilaksanakan di Indoensia berdasarkan Pemendikbud Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Kurikulum yang berlaku sebagian menggunakan pandangan John Dewey. Hal yang paling menonjol adalah penggunaan metode problem solving dan learning by doing yang digunakan untuk menghadapi kehidupan mendatang. 

Dua metode ini sangat cocok digunakan dalam pembelajaran sains. Hal ini dikarenakan sains merupakan ilmu yang mempelajari mengenai fenomena alam. Oleh karena itu, agar siswa dapat memahami sains maka siswa harus memahami fenomena yang terjadi di alam dengan cara melakukan percobaan mengenai kejadian alam yang dibuat dalam bentuk prototipe di laboratorium (Fitriyati, Hidayat, and Munzil 2017). Melalui percobaan, siswa dituntut untuk melakukan dan menyelesaikan persoalan yang ada guna menjawab tujuan percobaan. Melalui percobaan harapannya, selain siswa memahami materi sains dengan baik siswa juga dilatih untuk memecahkan masalah yang dihadapi tidak hanya dalam pembelajaran sains, tetapi juga sebagai bekal nantinya dalam menghadapi kehidupan. Pembelajaran sains yang dilaksanakan secara terus menerus melalui problem solving dan learning by doing diharapkan akan membentuk nilai-nilai yang baik pada diri siswa yaitu jujur, kerja keras, pantang menyerah, ulet, teliti, tanggung jawab, dan nilai-nilai baik lainnya (Primayana 2020). Nilai-nilai tersebut nantinya dapat digunakan siswa dalam hidup bermasyarakat. 

Metode problem solving learning lebih menekankan pada pembelajaran yang mengaktifkan siswa (Yanti 2017). Metode ini akan menunjang how to do yang difokuskan dalam kegiatan praktik scientific ini menekankan lima aspek penting, yaitu mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan komunikasi. Melalui metode ini siswa dituntut aktif dalam segala masalah. Proses mengamati dalam pelajaran, terutama sains merupakan suatu proses belajar yang sering digunakan. Namun bagi mata pelajaran lain, guru dituntut harus paham materi sebelum menghadirkan siswa ke dunia nyata dengan mengamati sendiri semua fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan materi pelajarannya.

1. Menanya. Agar siswa merasa bertanya-tanya (rasa ingin tahu), seorang guru harus menyediakan pembelajaran yang menimbulkan masalah. Artinya guru harus mampu menyediakan kegiatan pembelajaran yang menarik yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu siswa.

2. Mencoba. Dalam pelaksanaan kurikulum 2013, siswa dituntut untuk mencoba sendiri, dan terlibat langsung dalam masalah yang dihadirkan guru. Dalam pembelajaran sains misalnya, siswa diminta mencoba sendiri mencari data untuk disajikan dalam bentuk diagram, ataupun grafik. Data itu dapat diperoleh melalui pengukuran langsung, melalui wawancara, dan melalui pengamatan.

3. Menalar. Siswa dituntut untuk dapat memahami dengan benar pokok materi yang diajarkan guru. Siswa akan mudah menalar suatu materi ajar apabila pelajaran yang diajarkan tidak memberatkan mereka.

4. Komunikasi. Dalam proses mengkomunikasian semua permasalahan, siswa diminta mempresentasikan hasil kerja mereka. Kelima aspek tersebut sangat berkaitan satu sama lain. 

Adapun ketidaksesuaian yang paling menonjol antara pandangan John Dewey mengenai pendidikan dengan pembelajaran sains berdasarkan kurikulum yang berlaku di Indonesia terletak pada segi ke-Tuhanan. Pandangan John Dewey menyebutkan bahwa masalah atau konsep hanya dapat dikatakan benar jika telah terbukti melalui serangkaian percobaan. Pandangan ini menunjukkan bahwa John Dewey hanya mendewakan akal dan pikiran dalam memecahkan masalah, sehingga mengesampingkan keberadaan Tuhan. Pandangan Dewey ini bertentangan dengan pembelajaran sains di Indonesia yang menggambarkan bahwa berbagai konsep yang dibuktikan melalui seragkaian percobaan dalam menyelesaikan permasalahan yang diarahkan agar siswa semakin bersyukur atas ciptaan Tuhan sehingga aspek religius siswa akan semakin tergali. Hal ini lebih ditekankan lagi pada Kurikulum 2013 melalui Kompetensi Inti 1 (KI – 1).


E. Kesimpulan

Filsafat pendidikan adalah bidang yang kaya dan beragam. Filsafat pendidikan diharapkan dapat diterapkan untuk mengatasi masalah pendidikan dan melatih guru dalam membuat kebijakan. Tulisan terbaik tentang subjek ini sesuai dengan urgensi filosofis dan kebutuhan para praktisi. Beberapa filsuf pendidikan menulis dengan jelas dari sudut pandang Kant. Yang lain mencari cara baru untuk melihat pendidikan, berdasarkan gagasan Wittgenstein, Aristoteles, dan Heidegger.


Reference

Anwar, Muhammad. 2015. Filsafat Pendidikan. Kencana.

Bantali, Ampun. 2015. “Hubungan Pola Asuh Demokratis Dan Lingkungan Belajar DEngan Self-Regulated Learning Siswa MAL IAIN SU Tahun Ajaran 2014/2015.”

Barrow, Robin. 2015. Giving Teaching Back to Teachers: A Critical Introduction to Curriculum Theory. Routledge.

Dearden, Rowland. 2012. The Philosophy of Primary Education (RLE Edu K): An Introduction. Routledge.

Fitriyati, Ida, Arif Hidayat, and Munzil Munzil. 2017. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Ilmiah Dan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama.” Jurnal Pembelajaran Sains 1(1): 27–34.

Iskandar, Uray. 2013. “Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Peningkatan Kinerja Guru.” Jurnal visi ilmu pendidikan 10(1).

Langsdorf, Lenore. 1988. “Educating Reason: Rationality, Critical Thinking, and Education.” Teaching Philosophy 11(2): 164–66.

Maslakhah, Siti. 2019. “Penerapan Metode Learning By Doing Sebagai Implementasi Filsafat Pragmatisme Dalam Mata Kuliah Linguistik Historis Komparatif.” Diksi 27(2): 159–67.

Peters, Richard Stanley, Marek Tesar, and Kirsten Locke. 1973. The Philosophy of Education. Oxford University Press Oxford.

Primayana, Kadek Hengki. 2020. “Menciptakan Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah Dengan Berorientasi Pembentukan Karakter Untuk Mencapai Tujuan Higher Order Thingking Skilss (HOTS) Pada Anak Sekolah Dasar.” Purwadita: Jurnal Agama dan Budaya 3(2): 85–92.

Priyanto, Dwi. 2017. “Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis Pendidikan.” Jurnal Pendidikan Islam Indonesia 1(2): 177–91.

Soeharto, Karti. 2010. “Perdebatan Ideologi Pendidikan.” Jurnal Cakrawala Pendidikan 2(2).

Surayya, Lina, I Wayan Subagia, and I Nyoman Tika. 2014. “Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share Terhadap Hasil Belajar IPA Ditinjau Dari Keterampilan Berpikir Kritis Siswa.” Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran IPA Indonesia 4(1).

Susilo, Agus Agus, and Andriana Sofiarini. 2020. “Peran Guru Sejarah Dalam Pemanfaatan Inovasi Media Pembelajaran.” Jurnal Komunikasi Pendidikan 4(2): 79–93.

Yanti, Ni Luh Mita Sri Mahendra. 2017. “Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving Berbasis Educative Games Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Ipa Kelas IV Di Gugus IV Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.” Jurnal Imiah Pendidikan dan Pembelajaran 1(2).

INOVASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH MELALUI KEARIFAN SOSIAL BUDAYA LOKAL

 Abstrak: Tujuan menulis ini adalah untuk memberikan ide dan inovasi penanaman pendidikan karakter melalui pemahaman terhadap pemikiran hermeneutika dalam proses pembelajaran disekolah. Pemikiran hermeneutika mempunyai beberapa ciri khas, maka para pengguna membutuhkan panduan secara rinci untuk memperoleh tujuan pembelajaran disekolah secara berkelanjutan dan holistik/ menyeluruh. Umumnya siswa terbiasa dengan model pengajaran tradisional dengan sistem ceramah yang diberikan oleh guru. Pemikiran hermeneutika yang sangat berbeda membutuhkan usaha-usaha inovatif untuk mengubah kebiasaan tersebut. Guru mengklarifikasi konsep-konsep yang dipelajari secara jelas dan perlahan-lahan. Dengan mengenalkan siswa dengan permainan, kuis, diskusi, dan lainnya maka guru telah membawa siswa berperan lebih aktif, dan mereka tidak bisa hanya bertindak pasif semata. Perlahan-lahan namun secara meyakinkan, siswa beralih dari subjektifitas terbatas yang biasa mereka peroleh dalam proses pembelajaran model tradisional, menjadi subjektifitas yang luas melalui hermeneutika yang lebih menyeluruh dan bermakna.


A. Pendahuluan

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan budi pekerti berbasis karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang terjadi dan berkembang saat ini. Meningkatnya kenakalan remaja dilingkungan masyarakat, seperti: perkelahian antar pemuda, pelecehan seksual, bully, penyalahgunaan narkoba, dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di pelosok desa dan kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal khususnya sekolah sebagai wadah resmi pembinaan anak-anak dan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam pembentukan maupun penanaman kepribadian dan budi pekerti siswa sejak usia dini. Pembentukan dan penanaman kepribadian pada diri siswa bukanlah hal yang mudah, mengingat latar belakang siswa yang berbeda-beda baik, suku, ras, budaya, agama, dan lainnya. Salah satu alternatif dan upaya yang dapat ditawarkan untuk membentuk dan menanamkan kepribadian dan budi pekerti pada siswa sejak usia dini berupa penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran melalui kearifan sosial budaya lokal pada jenjang Sekolah Dasar.

Para peneliti pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya membentuk dan menanamkan kepribadian dan budi pekerti pada siswa sejak usia melalui pendidikan karakter melalui kearifan sosial budaya lokal pada jalur pendidikan formal, khususnya jenjang pendidikan dasar (Beddu et al. 2014; Sukadari, Suyata, and Kuntoro 2015; Uge, Neolaka, and Yasin 2019). Namun demikian berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa tantangan dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah. Tantangan-tantangan di era khususnya di era 5.0 berupa keterbaruan apa yang bisa diberikan ke publik dalam mengatasi permasalah fenomena sosial yang terjadi pada siswa. Menjawab tantangan-tantangan tersebut, terdapat beberapa alternatif yang dapat dikembangkan dengan mengadopsi hasil penelitian terdahulu, diantaranya: pendekatan perkembangan nilai karakter kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai karaker (Lind 2017; Muhammad, Reinita, and Fitria 2020). 

Pendidikan Karakter adalah upaya dalam rangka membangun karakter (character building) peserta didik untuk menjadi lebih baik. Sebab, karakter dan kepribadian peserta didik sangat mudah untuk dibentuk. Secara etimologis karakter dapat dimaknai sesuatu yang bersifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun perangai.  Secara terminologis, karakter dapat dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil. Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.

Pendidikan karakter memiliki andil yang besar untuk memajukan peradaban bangsa agar menjadi bangsa yang semakin terdepan dengan Sumber Daya Manusia yang berilmu, berwawasan dan berkarakter. Pendidikan karakter siswa sangat luas karena terkait dengan pengembangan multi aspek potensi-potensi keunggulan bangsa. Diuraikan dalam Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, (2010) menyebutkan bahwa: (a) karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa, (b)    karakter berperan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing, (c)    karakter harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat. 

Dalam hal pembinaan karakter siswa akan mengerucut pada tiga tujuan besar, yaitu: (1)   menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2)   menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, dan (3)   membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat. Pendidikan karakter siswa harus diaktualisasikan secara nyata untuk menjaga jati diri bangsa dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, pendidikan karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Tetapi penting untuk segara dikemukakan bahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat) (Lewis and Ponzio 2016). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.

Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah adalah lembaga yang mengusahakan dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise) (Pombinho 2015). bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.


B. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai penggunaan yang disengaja dari semua dimensi kehidupan sekolah untuk mendorong pengembangan karakter yang optimal (M.-T. Wang and Holcombe 2010).  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/ lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyeleng-garakan pendidikan harus berkarakter.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyeleng-garaan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masya-rakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.


C. Kearifan Sosial Budaya Lokal

Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Terdapat sumber-sumber kearifan budaya lokal, diantaranya:

1. Potensi Manusia.

Al-ghazali menyebut potensi manusia ada empat komponen, yaitu: ruh, kalbu, akal dan nafsu. Sigmund Freud membagi komponen sistem kepribadian manusia meliputi: super ego, ego dan id. Sedangkan Bloom membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga komponen, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Adapun Howard Gardner menjabarkan lagi kedalam delapan kecerdasan, yaitu: linguistik, logis-matematis, spasial, kinestetik jasmani, musikal, antarpribadi, intrapribadi dan naturalis. Pengembangan program pendidikan yang meliputi tujuan, kurikulum, metode pembelajaran dan lingkungan pendidikan haruslah berbasis pada potensi manusia anak didik.

2. Potensi Agama

Hampir tidak ada pendidikan diberbagai belahan dunia ini yang lepas dari pengaruh agama, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Dunia pendidikan yang gelap terhadap nilai-nilai moral etis, serta kehidupan bangsa yang dipenuhi dengan keserakahan dan kemunafikan, mengharuska adanya penguatan nilai-nilai sufisme, bukan hanya melalui pendidikan agama, tetapi juga semua mata pelajaran, keteladanan dan budaya sekolah. Sekolah, perguruan tinggi dan pesantren bukan hanya benteng penjaga moral terakhir, tetapi juga diharapkan dapat melahirkan manusia-manusia yang bijak dan bermoral.

3. Potensi Budaya

Budaya adalah nilai, proses dan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Budaya atau kebudayaan nasional memiliki kedudukan sangat penting dalam program pengembangan pendidikan nasional suatu bangsa atau muatan lokal suatu daerah. Bangsa yang berbudaya dan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai, mengembangka dan mewariskan budayanya kepada generasi muda. Melalui kekayaan budaya yang dimiliki, seharusnya kita bisa menyusun berbagai model dan program pendidikan dan pembelajaran, bisa dalam bentuk program studi, intrakurikuler, ekstrakurikuler maupun dalam bentuk budaya sekolah.

4. Potensi Alam

Lewat program pendidikan berbasis potensi lingkungan, diharapkan tumbuh kearifan lokal dan karakter yang peduli lingkungan dan sebaliknya dapat memanfaatkan potensi lingkungan hidupnya. Orang yang arif adalah orang yang hidupnya harmoni dengan lingkungan seraya dapat memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan hidupnya dan orang yang berkarakter akan marah apabila lingkungan ekosistemnya dirusak.

Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya

Pendidikan merupakan pilar utama penentu kemajuan suatu bangsa yang termanifestasi pada kualitas sumber daya manusia yang cerdas, berkarakter, berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan berdaya saing. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Penerapan pendidikan karakter melalui kearifan sosial budaya lokal, setidaknya terdiri dari 9 (sembilan) pilar karakter. Sembilan pilar karakter tersebut meliputi: 1) cinta tuhan dan segenap ciptaanNya (love Allah, trust, reverence, loyalty); 2) tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness); 3) kejujuran/amanah dan arif (trustworthines, honesty, and tactful); 4) hormat dan santun (respect, courtesy, obedience); 5) dermawan, suka menolong dan gotong-royong/kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation); 6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm); 7) kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership); 8) baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty) ; 9) toleransi, kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity). Meskipun demikian,  terdapat 6 karakter umum yang diterima secara menyeluruh dalam berbagai aspek, khususnya aspek pendidikan, diantaranya: 1) trustworthiness (jujur/dapat dipercaya), 2) respect (menghargai), 3) responsibilty (tanggung jawab), 4) fairness (adil), 5) caring (peduli), dan 6) citizenship (kewarganegaraan). 


D. Pemikiran Hermeneutika dalam Inovasi Pendidikan Karakter

Perlu adanya upaya memadukan alternatif-alternatif melalui penelitian terdahulu dalam melakukan inovasi penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran melalui kearifan sosial budaya lokal khususnya pada jenjang Sekolah Dasar. Inovasi tersebut diharapkan mampu menjawab tantangan dalam mengatasi fenomena sosial yang terjadi pada siswa. Salah satu inovasi yang ditawarkan berupa penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran melalui kearifan sosial budaya lokal. Kearifan sosial budaya lokal dipandang sebagai sebuah jalan untuk menjelaskan berbagai masalah dalam kaitannya sebagai intepretasi. Hal tersebut bertolak dari buah pikir Friedrich Daniel Ernst Schleiremacher (1768-1834) tentang hermeneutika adalah pemahaman terhadap seluruh ungkapan baik berupa lisan atau tulisan. Selain sebagai upaya menanamkan kepribadian dan budi pekerti pada siswa, langkah ini merupakan upaya nyata mempertahankan jati diri dan keunggulan budaya lokal, serta adat istiadat tatakrama ketimuran. Hal ini kalau tidak dilestarikan atau diajarkan kepada anak didik akan terjadi kepunahan.

Inovasi tersebut mengadopsi dari pemikiran Hermeneutika, yang mana pemikiran tersebut mengulas hubungan antara hermeneutika dan pendidikan. Seringkali kedua hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit atau kurang diteliti, namun demikian keduanya tetap menjadi pusat disiplin ilmu tersebut. Hermeneutika dapat diartikan secara luas sebagai praktik dan teori interpretasi, khususnya praktik dan teori teks (De Guzman 2004). Dalam kasus malformasi, sangat tergantung pada penggunaan teks dan kemampuan siswa untuk menafsirkan dan memahaminya. Namun, tidak ada bidang yang membatasi penggunaan teks. Keduanya berkaitan dengan komunikasi interpersonal dan kemampuan memahami orang lain dalam situasi percakapan sehari-hari sebagai bentuk dari menerima dan menyampaikan informasi. Singkatnya, bahasa dan kemampuan yang digunakan dalam proses pembelajaran melalui kearifan sosial budaya lokal, mengarahkan siswa untuk memahami, meniru, dan merapkan sebagai perilaku yang baik dalam diri siswa.

1. Hermeneutika Schleiremacher

Pemikiran Hermeneutika Schleiremacher berkembang dari skema pergerakan romantik awal yang juga merupakan babak revolusi kehidupan intelektual di Eropa pusat. Pergerakan romantik selanjutnya romantisisme adalah pergerakan yang muncul atas reaksi supremasi rasio pada abad pencerahan yang dianggap kaku dalam tingkat pemahaman dan cenderung rasionalistik serta dianggap dapat menurunkan tingkat kebenaran ilmiah yang muncul sebagai gerakan kultural di Eropa dan Amerika 1775-1830. 

Dalam kaitannya dengan konsep pemahaman tersebut tentunya telah dapat ditemukan bahwa hermeneutika Schleiremacher mengarah kepada penekanan pemahaman. Hermeneutika dipandang sebagai sebuah jalan untuk menjelaskan berbagai masalah dalam kaitannya sebagai interpretasi. Pada poin ini dapat disimpulkan bahwa tolak pemikiran Schleiremacher tentang hermeneutika adalah pemahaman terhadap seluruh ungkapan baik berupa lisan atau tulisan. Artinya, dalam setiap kegiatan memahami akan selalu ada konversi pendengar dan pembicara yang saling berkaitan.

2. Hermeneutika Wilhelm Dilthey

Pemikiran Hermeneutika Wilhelm Dilthey

upaya untuk mendalami dan mengadakan analisis yang cukup mendalam serta komprehensif dalam proses pemahaman yang ia pandang sebagai jalan manusia untuk dapat mengetahui kehidupan pikiran (kejiwaan) manusia itu sendiri dan kehidupan (kejiawaan) manusia yang lainnya (Muslih et al. 2021).

berDalam kaitannya dengan hermeneutika, Dilthey memulai tujuannya dengan berupaya mengembangkan sebuah metode dalam memperoleh interpretasi “obyektivitas yang valid” dari “ekspresi kehidupan-batin”. Dilthey juga mengkritisi sejumlah pemikiran tentang studi manusia yang ia anggap membunuh dan hanya mengadopsi norma-norma serta cara pikir yang didapat dari alam kemudian digunakan dalam pengembangan studi manusia (Z. Wang, Palmer, and Beese 2016). Dalam pemikirannya tersebut yang menjadi kualitas Dilthey adalah determinasi pengalaman konkret, dan bukan spekulasi yang ia anggap harus menjadi titik tolak yang memungkinkan teori Geisteswissenschaften dapat diterima. Teori Geisteswissenschaften adalah poin terpenting Dilthey di mana teori ini terfokus pada semua aspek keilmuan yang berkaitan dengan sosial dan kemanusian.

Di dalam pergelutan pemahaman yang ditawarkan Dilthey atas teori Geisteswissenschaften-nya, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami untuk sampai pada konsepsi Dilthey tersebut. Pertama “Pengalaman” (Erfahrung dan Erlebnis) merupakan dua kata yang diambil dari bahasa Jerman. Dalam kaitannya dengan pengalaman Dilthey lebih merujuk pada kata yang spesifik Erlebnis yang merupakan kata kerja Erleben (mengalami, khusus pada individual). 

Kedua “ekspresi” Ausdruck dalam bahasa Jerman yang secara prinsip Dilthey memposisikannya sebagai satu hal yang mendekati ikatan perasaan. Namun, secara detail Ausdruck tidak digunakan oleh Dilthey dalam mengacu sebuah emosi atau perasaan, akan tetapi lebih tinggi dari kedua hal tersebut. Dilthey memandang bahwasanya ekspresi bukan merupakan sebuah bentukan perasaan, namun lebih kepada sebuah ekspresi hidup dan mengacu pada ide, hukum, bentuk sosial, serta bahasa yang selalu merefleksikan kehidupan manusia.

Ketiga adalah ”pemahaman”, menurut Dilthey pemahaman bukanlah suatu konsep rasional yang pasti layaknya problem Matematika. Pemahaman dalam konsep Dilthey memiliki kata kunci seperti pada konsep pengalaman ekspresi, yang memiliki makna khusus. Pemahaman pada konsep ini adalah sebagai proses untuk mengetahui kehidupan (kejiwaan) melalui ekspresi-ekspresi yang diberikan oleh indra. Dalam prosesnya pun diperlukan rasa penuh pengertian terhadap ekpresi-ekspresi yang dihadapi. Dilthey memberikan penekanan terhadap pentingnya Sympathie, das Miterleben (rasa simpati) dalam proses pemahaman (Z. Wang, Palmer, and Beese 2016).

3. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer

Pemikiran Hermeneutika Hans-Georg Gadamer yaitu menguraikan keterkaitan bahasa sebagai penentuan objek dan bahasa sebagai penentuan tindakan hermeneutika. Sebagai penentuan objek, tulisan menurut Gadamer adalah idealitas abstrak dari bahasa. Makna hermeneutik merupakan satu hal yang berkaitan tentang fakta di mana sebuah tradisi memiliki sifat linguistik dan ditunjukkan ketika tradisi tersebut tertulis “melepaskan dari perwujudan asli” (Risser 2010). Tradisi tertulis bukan merupakan tradisi tentang masa lalu, Gadamer memberikan makna tradisi tertulis yang luas karena tradisi adalah sebuah konsep untuk menjadikan suatu hal tentang makna yang dapat melampaui apa yang diungkapkan. Tulisan “teks” akan selalu terdapat tanda yang perlu ditransformasikan ke dalam makna dan inilah pemikiran Gadamer yang sejati mengenai hermeneutika.

4. Hermeneutika Paul Ricoeur

Pemikiran Hermeneutika Paul Ricoeur berkaitan dengan hermeneutika, Ricoeur memberikan pandangan bahwa hermeneutika adalah jalan untuk membuka makna sesungguhnya yang dapat mengurangi keberagaman makna dalam simbol-simbol (Wachid 2006). Namun, secara prinsipil Ricoeur memberikan pandangan yang lebih terhadap hermeneutika dari hanya sekedar interpretasi makna. Dalam tahapan hermeneutik, Ricoeur menambahkan pandangannya terhadap teks. Menurut Ricoeur teks adalah setiap diskursus yang dibakukan melalui tulisan yang kemudian menjadi ciri yang konstruktif dari teks itu sendiri (Wulandari 2016).

Dengan penjelasan tersebut maka Ricoeur sangat teguh dalam memandang hermeneutika sebagai seni dalam memberikan makna terhadap teks, tetapi pemaknaan teks hanya akan diberikan melalui struktur-struktur pekerjaan. Dengan demikian, interpretasi adalah jawaban atas jarak mendasar yang dibentuk oleh objektivikasi manusia dalam karya-karya teks, sebuah objektivikasi yang sebanding dengan yang dinyatakan dalam produk-produk kerja dan seninya.


E. Kesimpulan

Penerapan pendidikan karakter berbasis kearifan sosial budaya lokal untuk lingkungan sekolah agar memiliki efektivitas yang baik dalam membentuk karakter siswa yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan tradisi yang dikehendaki sekolah, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) sumber nilai karakter berasal dari lingkungan budaya sekolah, lingkungan keluarga dan  masyarakat; 2) pengungkapan nilai budaya dan tradisi sebagai bahan pendidikan karakter dapat berupa petunjuk, keteladanan, larangan, perintah, dan kewajiban terhadap seluruh anggota dilingkungan sekolah; 3) adanya arahan-arahan, misalnya larangan, kewajiban dan perintah yang dilakukan di lingkungan sekolah, rumah dan masyarakat dalam jangka waktu yang lama yang secara terus menerus akan memunculkan nilai-nilai dan tradisi budaya di lingkungan sekolah, sehingga sekolah menjadi masyarakat dengan lingkungan budayanya sendiri. 4) nilai-nilai karakter di lingkungan sekolah dapat diwariskan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan sekolah secara terpadu, terpadu dan terlembaga serta dapat menciptakan semacam “sistem ritual” tergantung sekolah masing-masing; 5) kepala sekolah dan guru dapat berperan sebagai panutan, sebagai orang tua, pendidik, wali dan pengontrol struktur dan proses sosial yang terjadi di sekolah. Peran kepala sekolah dan semua guru seperti beliau akan menjadi faktor penentu efektifitas pendidikan karakter di lingkungan sekolah; 6) semua input, proses, dan output harus berlangsung dalam budaya sekolah yang bertahan dalam mekanisme sibernetik.

Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai bentuk inovasi penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran di sekolah dasar melalui kearifan sosial budaya lokal. Adapun langkah tersebut, meliputi: 1) Mengintegrasikan pada mata pelajaran yang ada di dalam struktur kurikulum dan mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) melalui kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Sebagai kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler, setiap guru menyusun dokumen perencanaan pembelajaran berupa Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai mata pelajarannya masing-masing. Nilai-nilai utama pendidikan karakter dalam pembelajaran disekolah melalui kearifan sosial budaya lokal diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sesuai topik utama nilai pendidikan karakter yang akan dikembangkan/dikuatkan pada sesi pembelajaran tersebut dan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing. 2) mengimplementasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran disekolah melalui kearifan sosial budaya lokal melalui kegiatan ekstrakurikuler yang ditetapkan oleh satuan pendidikan. Pada kegiatan ekstrakurikuler, satuan pendidikan melakukan penguatan kembali nilai-nilai karakter melalui berbagai kegiatan. Kegiatan ekstra kulikuler dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan masyarakat dan pihak lain/lembaga yang relevan, seperti PMI, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perdagangan, museum, rumah budaya, dan lain-lain, sesuai dengan kebutuhan dan kreativitas satuan pendidikan, dan 3) kegiatan pembiasaan melalui budaya sekolah dibentuk dalam proses kegiatan rutin, spontan, pengkondisian, dan keteladanan warga sekolah. Kegiatan-kegiatan dilakukan di luar jam pembelajaran untuk memperkuat pembentukan karakter sesuai dengan situasi, kondisi, ketersediaan sarana dan prasarana di setiap satuan pendidikan.


REFERANCE

Beddu, Syarif, Arifuddin Akil, Wiwik Wahidah Osman, and Baharuddin Hamzah. 2014. “Eksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Landasan Perumusan Tatanan Perumahan Dan Permukiman Masyarakat Makassar.” dalam Prosiding Temul Ilmiah IPLBI. Tersedia secara online juga di: https://eng. unhas. ac. id/arsitektur/files/5ae0ad4fceba7. pdf [diakses di Bandung, Jawa Barat, Indonesia: 3 November 2019].

De Guzman, Allan B. 2004. “The Hermeneutics of Learner-Centered Approaches and Initiatives in the Philippine Basic Education Sector.” Educational Research for Policy and Practice 3(3): 223–41.

Lewis, McRobert, and Veronica Ponzio. 2016. “Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future.” Jurnal Ilmiah Peuradeun 4(2): 137–46.

Lind, Georg. 2017. “The Theory of Moral-Cognitive Development a Socio-Psychological Assessment.” In Moral Judgments and Social Education, Routledge, 25–48.

Muhammad, Milotul, Reinita Reinita, and Yanti Fitria. 2020. “Pendekatan Value Clarification Technique Dalam Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar.” Jurnal Pendidikan Tambusai 4(2): 1480–93.

Muslih, Mohammad, Abdul Rohman, Yusuf Al Manaanu, and Abdul Aziz. 2021. “Pengembangan Ilmu Sosial Model Fenomenologi Dan Hermeneutika.” Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika 7(1).

Pombinho, João Pedro Marques. 2015. “Value-Oriented Enterprise Transformation: Design and Engineering of Value Networks.”

Risser, James. 2010. “Gadamer’s Hidden Doctrine: The Simplicity and Humility of Philosophy.” Consequences of hermeneutics: Fifty years after Gadamer’s Truth and method: 5–24.

Sukadari, Sukadari, Suyata Suyata, and Shodiq A Kuntoro. 2015. “Penelitian Etnografi Tentang Budaya Sekolah Dalam Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar.” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi 3(1): 58–68.

Uge, Sarnely, Amos Neolaka, and Mahmuddin Yasin. 2019. “Development of Social Studies Learning Model Based on Local Wisdom in Improving Students’ Knowledge and Social Attitude.” International Journal of Instruction 12(3): 375–88.

Wachid, Abdul Wachid B S. 2006. “Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur Dalam Memahami Teks-Teks Seni.” Imaji: Jurnal Seni dan Pendidikan Seni 4(2).

Wang, Ming-Te, and Rebecca Holcombe. 2010. “Adolescents’ Perceptions of School Environment, Engagement, and Academic Achievement in Middle School.” American educational research journal 47(3): 633–62.

Wang, Zhuqing, Todd A Palmer, and Allison M Beese. 2016. “Effect of Processing Parameters on Microstructure and Tensile Properties of Austenitic Stainless Steel 304L Made by Directed Energy Deposition Additive Manufacturing.” Acta Materialia 110: 226–35.

Wulandari, Sri. 2016. “Makna Simbol dan Kata dalam Novel Hati Sinden Karya Dwi Rahyuningsih: Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur.” Jurnal Edu-Kata 3: 2.


PENERAPAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

 Abstrak: Perjalanan belajar mengajar berlangsung terus menerus dan sepanjang hayat. Hal ini tidak hanya terbatas pada apa yang kita pelajar...